MNC Peduli Dukung Pengembangan Kerajinan Tenun Ekraf Ngudi Rahayu Boyolali

Warisan Budaya dari Pelukis PrabangkaraWarisan budaya dan tradisi turun temurun ini juga punya sejarahnya tersendiri yang berasal dari sosok pengukir dan pelukis bernama Prabangkara yang hidup di zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Konon dahulu kala Prabangkara sang ahli lukis dan ukir itu dipanggil oleh Raja Brawijaya untuk melukis isterinya dalam keadaan tanpa busana sebagai wujud cinta sang raja.

UMKM Kerajinan Binaan YDBA Tampil di Trade Expo Indonesia 2022

Prabangkara pun dihukum dengan diikat di layang-layang, diterbangkan, dan kemudian jatuh di Belakang Gunung yang kini bernama Mulyoharjo. Seniman ukir yang terasing itu kemudian hidup di sana dan mengajarkan ilmu ukir kepada warga Jepara di mana keahlian itu lestari hingga saat ini.

RA Kartini Ikut Kembangkan Seni Ukir JeparaSosok Raden Ajeng Kartini ternyata juga punya andil ikut memajukan dan mengembangkan seni ukir Jepara. Kartini melihat kehidupan para perajin ukir di tanah kelahirannya yang tidak beranjak dari kemiskinan, sesuatu hal ini sangat mengusik batinnya.

Dia kemudian memanggil beberapa perajin dari daerah Gunung Mulyoharjo tempat diwariskannya ilmu seni ukir dari Prabangkara untuk bersama-sama membuat ukiran seperti peti jahitan, meja kecil, figura, tempat perhiasan, dan barang cenderamata lain.

Hasil karya itu kemudian dijual oleh Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta), sehingga akhirnya kualitas karya seni ukir dari Jepara ini mulai dikenal. Pesanan pun banyak berdatangan dan hasil produksi perajin seni ukir Jepara pun bertambah jenisnya.

Seluruh penjualan barang tersebut setelah dikurangi oleh biaya produksi, uangnya diserahkan secara utuh kepada para perajin dan dapat menaikkan taraf hidup mereka yang berkecimpung di bidang ini. Sementara itu, RA Kartini terus berinisiatif memperkenalkan karya seni ukir Jepara.

Dia mencoba untuk menembus pasar global dengan memberikan berbagai cenderamata kepada teman-temannya yang ada di luar negeri. Kartini pun semakin gencar untuk mempromosikan kerajinan ukiran Jepara. Dia lantas menghubungi Oost en West (asosiasi kerajinan tangan) di Belanda.

Kartini meminta mereka untuk membantu mempromosikan produk seni ukir Jepara. Bahkan, RA Kartini juga mengirimkan hadiah ulang tahun kepada pemimpin tertinggi Negeri Kincir Angin itu yakni Ratu Wilhelmina. Seluruh upaya Kartini berbuah manis.

Seiring berjalannya waktu, permintaan kerajinan ukiran Jepara melonjak berkali-kali lipat dan berhasil dijual dengan harga tinggi. Hal itulah yang mendorong keberhasilan Jepara menjadi pusat kerajinan ukir kayu yang terkenal di daerah Jawa Tengah yang mendunia.

Berita dengan judul “Ibu Tien Suharto Pesan 40 Pasang Untuk Istana Kalitan Sala” itu dimuat harian Kompas yang terbit Rabu, 22 Desember 1971 atau tepat 46 tahun lalu.

Mebel ukiran karya para perajin di Jepara sebenarnya sudah terkenal sejak masa Raden Ajeng Kartini sekitar awal tahun 1900. Selama ini keberadaan ukiran Jepara memberi penghidupan bagi banyak warga. Selain melalui pendidikan, umumnya para perajin ukir Jepara memperoleh keahlian ukir lewat pengembangan potensi yang diwariskan turun-menurun.

Dari awalnya hanya dipasarkan untuk kebutuhan lokal, produk ukiran Jepara kemudian mampu mendunia. Produk ukiran ini tak hanya dinikmati di Indonesia, tetapi juga memasok kebutuhan mebel ukiran di berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Sebagai sentra industri kerajinan mebel ukir terbesar di Indonesia, hampir setiap laki-laki penduduk asli Jepara, Jawa Tengah, mampu memproduksi berbagai jenis mebel, seperti memproduksi kursi dari bahan baku pangkal batang kayu yang masih utuh. Gambar diambil dari sentra industri mebel di Desa Mulyoharjo, Kecamatan Kota Jepara, pertengahan Februari 2004

Perjalanan produk ukir Jepara yang tetap bertahan hingga kini, tak selalu berjalan mulus. Jatuh-bangunnya para perajin ukir itu termasuk sering muncul dalam pemberitaan di harian Kompas. Faktanya, meskipun harus bersaing dengan  produk-produk ukir dari berbagai negara seperti Malaysia, Filipina, India dan China, tetapi produk ukir Jepara tetap mampu menghasilkan devisa.

Kompas, 21 Desember 2011 menulis, mebel dan patung ukir dari Jepara diekspor ke-104 negara di Eropa dan Asia dengan nilai sekitar 189 juta dollar AS. Salah satu yang menjadi keunggulan produk ukir Jepara adalah tetap menggunakan tangan, tak seluruh prosesnya memakai mesin. Ini berbeda dengan produk ukiran China yang dibuat secara massal dengan teknologi digital.

Mengutip Ketua Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komisariat Daerah Jepara Akhmad Fauzi disebutkan, ekspor produk ukir Jepara tahun 2008 ke-111 negara berniali 102,1 juta dollar. Namun setahun berikutnya ekspor itu turun menjadi 93,52 juta dollar untuk 106 negara. Pada 2010 nilai ekspor produk ukir kembali naik menjadi 122 juta dollar.

Peningkatan ekspor semakin terasa pada 2011 saat produk ukir Jepara diperkuat dengan logo indikasi geografis (IG). Logo tersebut menunjuk pada sertifikat hak kekayaan intelektual produk barang atau jasa dari sebuah negara atau daerah terkait faktor alam, manusia, dan daerah asal.

Industri produk ukir Jepara juga ditunjang dana APBD Kabupaten Jepara sebesar Rp 1 miliar per tahun untuk promosi. “Sekitar Rp 900 juta di antaranya digunakan untuk misi dagang dalam dan luar negeri, misalnya mengikuti pameran International Furniture and Craft Fair Indonesia,” kata Edy Sujatmiko, Kadis Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jepara (Kompas, 21 Desember 2011).

Tahun 2014 di Kabupaten Jepara terdapat 3.995 unit usaha dengan 62.524 tenaga kerja di 15 kecamatan dari 16 kecamatan yang bergerak dalam industri ukir kayu (Kompas, 1 Juni 2014). Namun penurunan produksi produk-produk ukiran sudah terasa antara lain dari jumlah perajin ukirnya. Di Desa Mulyoharjo misalnya, dari sekitar 8.000 jiwa penduduknya, hanya 30 persen yang menjadi perajin ukiran. Padahal sebelumnya, sekitar 50 persen warga desa itu menjadi perajin ukiran.

Pperangkat Desa Mulyoharjo mendampingi pengukir mula yang tengah nyantrik atau magang mendalami seni ukir di UD Mblakang Gunung, Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Senin ( 22/8/2011 ).

Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen perajin ukiran berusia di atas 30 tahun. “Biasanya pada umur 40-an tahun ke atas kemampuan mengukir seseorang turun, karena mata sudah tidak begitu awas lagi, terutama untuk mengukir motif bunga,” kata Muh Suryadi, Pendiri Koperasi Serba Usaha Pemuda Tunas Patria Desa Mulyoharjo (Kompas, 1 Juni 2014).

Selain itu, industri produk ukiran Jepara setempat juga harus bersaing dengan semakin eratnya genggaman para pengusaha asing bermodal besar. Pengusaha asing yang membangun pabrik di Jepara berasal dari berbagai negara, seperti Jerman, China, Korea Selatan (Korsel), Taiwan, Jepang, juga Malaysia. Mereka mendominasi ekspor mebel Jepara senilai 150,32 juta dollar atau hampir Rp 2 triliun pada 2015 (Kompas, 27 Maret 2017).

Eksportir mebel setempat terpaksa berubah status menjadi sub-eksportir dari pengusaha asing yang menguasai industri produk ukiran Jepara. Pengusaha lokal sulit bergerak karena berbagai keterbatasan, dari modal usaha hingga pemasaran.

Sekadar gambaran, tahun 2013 atau sekitar empat tahun lalu, seorang perajin ukir bisa mengantongi omzet Rp 250 juta per hari. Tetapi kini maksimal Rp 40 juta. Kondisi ini memaksanya untuk menjadi sub-eksportir demi kelangsungan usahanya.

Ironis, karena Jepara memiliki sejarah produk ukiran yang panjang, lebih dari seabad atau sekitar 117 tahun. “Cap” sebagai produsen ukir kayu berskala dunia telah menarik minat para investor asing. Data Pemerintah Kabupaten Jepara menunjukkan, tahun 2014 terdapat 27 PMA dengan investasi Rp 640 miliar. Tahun 2015 jumlahnya naik menjadi 32 PMA, tahun 2016 turun menjadi 18 PMA dengan nilai investasi sekitar Rp 3,15 triliun.

Kepiawaian perajin ukir Jepara membawa mereka berkarya ke berbagai tempat. Sekitar awal tahun 1970-an sebagian perajin Jepara bekerja di berbagai industri mebel di Jakarta, seperti di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan (Jaksel), serta Klender dan Pulogadung, Jakarta Timur (Jatim).

Produk ukir Jepara amat beragam, mulai suvenir, hiasan dinding, perabot sampai rumah (Kompas, 16 November 1972 dan 9 September 1976). Rumah kayu berukir biasanya dikerjakan di Jepara, bagian-bagiannya kemudian dilepas dan diangkut ke Jakarta. Perajin dari Jepara memasang kembali bagian-bagian rumah itu dengan hati-hati. Salah satu di antaranya adalah bangunan proyek Balai Penelitian dan Pengembangan Kerajinan Jakarta di kawasan Cilandak, Jaksel (Kompas, 17 Januari 1972).

Pekerja industri kecil ukiran di Jepara, Senin (23/8/1982).

Tak hanya di perusahaan mebel, perajin ukir asal Jepara juga dibutuhkan kepandaiannya dalam membuat gitar. Salah satunya pada perusahaan penghasil gitar akustik milik David Mulyono di bilangan Kalibata, Jaksel (Kompas, 8 Oktober 1978).

Para perajin ukir Jepara umumnya mendapatkan kepandaian mengukir dengan belajar dari perajin senior dan praktek langsung. Oleh karena itulah bisa dikatakan Jepara tak pernah kehabisan perajin ukir. Meski belakangan ini jumlah perajin ukir menurun, karena sebagian kaum muda memilih bekerja di sejumlah industri yang berkembang di Jepara seperti garmen, sepatu dan kabel (Kompas, 4 Oktober 2017).

Masalah yang muncul sejak tahun 1970-an hingga kini adalah ketersediaan bahan baku kayu. Kompas, 8 Desember 1973 menulis, perajin ukir Jepara yang umumnya pengusaha kecil harus bersaing dengan pengusaha besar yang berdagang kayu untuk mendapatkan bahan baku. Pihak Perhutani tak memberi dispensasi khusus untuk perajin ukir.

Kadar kayu juga menjadi salah satu hambatan bagi perajin. Persentase kelembaban kayu di Eropa sekitar 8-12 persen, sedang kayu yang ada umumnya 18 persen. Bila dipaksakan, kayu bisa retak sesampainya di Eropa. Sejak tahun 1970-an pelaku industri produk ukir Jepara sudah melakukan ekspor ke beberapa negara di Eropa, Australia dan AS. Hasil ukir Jepara bersaing dengan produk dari Thailand dan Filipina.

Ekspor produk ukir Jepara terus meningkat. Kompas, 15 Juli 1980 mencatat, untuk memenuhi pesanan Australia saja, diperlukan lebih dari 10.000 set. Melihat potensi produk ukir Jepara, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Jateng  membuka kesempatan bagi investor untuk menanamkan modalnya, antara lain di bidang ukir-ukiran.

Tahun 1983 PT Indocraft menginvestasikan Rp 1,3 miliar untuk membuat mebel ukir Jepara. Data tahun 1981 menunjukkan, produksi mebel ukir omzetnya sekitar Rp 18,75 miliar, dan pada 1982 naik menjadi Rp 21,25 miliar (Kompas, 14 April 1983).

Karyawan pengukir kayu Jepara, Selasa (1/3/1977)

Tahun 1988 mebel ukir Jepara banyak diekspor antara lain ke Jepang, AS, Singapura dan Hongkong. Bahan bakunya tak hanya kayu jati, tetapi juga mahoni dan sonokeling (Kompas, 18 Januari 1988). Nilai jual mebel ukir itu mencapai Rp 32 juta per tahun.

Ketika mebel ukir Jepara diikutsertakan dalam pameran di Bali pada 1989, semakin banyak orang asing yang mengenal produk ukir tersebut. Mereka lalu datang ke Jepara dan memesan produk kayu ukir. Tak hanya volume ekspor bertambah, tetapi upah perajin pun meningkat. Kalau semula perajin mendapat Rp 3.500-Rp 4.500 per hari, menjadi Rp 6.000-Rp 7.000 (Kompas, 9 Juli 1991).

Di sisi lain, kehadiran orang asing di Jepara juga merugikan industri setempat. Ini karena mereka juga mengambil “jatah” ekspor yang sebelumnya dilakukan langsung pengusaha lokal. Apalagi sebagian dari orang asing itu tak membayar berbagai biaya usaha, karena mereka hadir sebagai turis. Alhasil, harga yang mereka tawarkan pun bisa lebih murah.

Sebagian pengusaha dan perajin yang bekerja sama dengan orang asing, umumnya sebatas “kelas tukang”. Sementara desain, teknologi dan pemasaran tetap dipegang pengusaha asing. Sekitar 70 persen dari volume ekspor mebel ukir Jepara pun dikuasai pengusaha asing (Kompas,10 Juli 1991).

Pengusaha asing pun tak segan-segan membeli mebel mentah dari pengusaha kecil dengan 5-10 perajin. Kondisi ini antara lain mengakibatkan harga pasaran mebel ukir Jepara turun sampai 20-30 persen. Meskipun nilai jual keseluruhannya naik menjadi sekitar Rp 6 miliar sebulan! (Kompas, 30 Desember 1992).

Pro dan kontra keberadaan pengusaha asing di Jepara pun tak terelakkan. Sampai sekitar tahun 1995 masalah ini tak teratasi, dan pengusaha asing pun tetap leluasa menangguk keuntungan (Kompas, 8 Mei 1995 dan 30 Agustus 1995). Faktanya, ekspor mebel ukir Jepara meningkat, dari 90-100 kontainer per bulan pada 1991 menjadi 200 kontainer per bulan di tahun 1993 (Kompas, 22 Juli 1993).

Bahkan pada 1994 pengusaha mebel ukir kewalahan memenuhi permintaan konsumen (Kompas, 27 Juni 1994). Untuk menambah bahan baku, kayu nangka, mahoni dan kayu sungke dari Kalimantan digunakan. Tahun 1994 rata-rata ekspor sekitar 300 kontainer. Kompas, 29 September 1996 mencatat, sekitar 500 kontainer produk ukir Jepara diekspor lewat Pelabuhan Tanjungemas, Semarang senilai 63 juta dollar.

Ekspor terus meningkat menjadi rata-rata 650 kontainer per bulan, senilai sekitar 12 juta dollar atau Rp 40 miliar (Kompas, 24 Oktober 1997). Namun jumlah ini masih terbilang kecil, hanya sekitar 3 persen dari omzet perdagangan mebel dunia sebesar 37 miliar dollar.  Tahun 2001 ekspor mebel Jepara masih meningkat, menjadi  1.000 kontainer berukuran 40 kaki per bulan (Kompas, 17 April 2001).

Menjadi perajin ukir bagi sebagian warga Kabupaten Jepara seakan sudah menjadi garis hidup. Tahun 1970-an tercatat ada 6.000 perajin ukir yang tersebar di 33 desa dari 4 kecamatan yakni Bangsri, Mlonggo, Batealit dan Jepara-kota (Kompas, 8 Desember 1973 dan 15 April 1979). Meskipun banyak perajin ukir Jepara yang menyebar ke berbagai daerah lain, tetapi produk ukir Jepara relatif tak sampai kekurangan perajin.

Calon Seniman Ukir - Para siswa SMIK Jepara, calon seniman ukir menunggu angkutan umum untuk pulang, Senin (23/2/1987).

Ini antara lain karena keberadaan Sekolah Teknik Menengah (STM) jurusan ukir kayu yang menjadi satu-satunya di Indonesia, yang kemudian menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK) Negeri Jepara (Kompas, 10 Januari 1981).

Tentang sejarah sekolah tersebut, Kompas, 8 April 1992 menulis, pertengahan 1955 Presiden Soekarno meninjau Sekolah Teknik Negeri (STN) yang kemudian berubah menjadi STM jurusan dekorasi ukir pada 1959/1960. Tahun 1979 STM berubah menjadi SMIK dengan jurusan ukir, kerajinan batik dan logam. Sekolah ini berdiri di atas lahan seluas 44.214 meter persegi yang dibangun mulai 1980 dan selesai pada 1989/1990.

Sekitar 90 persen lulusan SMIK bekerja atau berwiraswasta, sedangkan 10 persennya melanjutkan ke perguruan tinggi. Selain dari sekolah formal, perajin ukir juga dihasilkan antara lain dari klas kursus ukir kayu di Desa Tahunan yang pendidikannya berlangsung setahun (Kompas, 28 Maret 1979).

Perajin ukir kayu antara lain terdapat di Desa Kedungcino, Wonorejo, Panggung, Tahunan, Potroyudo, Tegalsari, Platar, Kauman dan Belakanggunung (Kompas, 15 April 1979).           Tahun 1979 jumlah anggota koperasi ukir kayu Jepara naik tajam dari 21 pengusaha menjadi 62 pengusaha. Sedangkan khusus di Desa Tahunan yang semula bergabung 35 pengusaha, juga meningkat menjadi 71 pengusaha.

Tahun 1980 seiring dengan adanya kredit lunak dari pemerintah, jumlah pengusaha produk ukir kayu Jepara naik menjadi 1.047, dan 9.508 perajin (Kompas, 15 Juli 1980). Setahun kemudian jumlah perajin bertambah menjadi lebih dari 10.000 orang (Kompas, 10 Januari 1981).

Tahun 1983 di Jepara terdapat 1.793 pengusaha kerajinan dengan 16.130 perajin (Kompas, 14 April 1983). Jumlah warga yang bermatapencaharian dari ukir kayu semakin bertambah. Pada 1988 terdapat 1.800 pengusaha yang menyerap sekitar 19.500 perajin (Kompas, 18 Januari 1988).

Sekitar 1989-1990 pengusaha atau pedagang asing mulai tinggal di Jepara. Kehadiran mereka turut meningkatkan volume mebel ukir. Kondisi ini berpengaruh pula pada bertambahnya “pemain” mebel ukir. Dari sebelumnya sekitar 1.400 pengusaha dengan 12.000 perajin, meningkat menjadi 3.000 pengusaha dengan 20.000 perajin (Kompas, 30 Desember 1992).

Dua tahun kemudian, pada 1994 di Jepara terdata ada 2.110 pengusaha ukir kayu, 60 eksportir dan 29.258 perajin (Kompas, 27 Juni 1994). Tahun 1996 jumlah tenaga kerja yang terserap dalam industri ukir kayu melonjak menjadi 60.000 orang (Kompas, 29 September 1996).

Kompas, 24 Oktober 1997 menulis, lima tahun lalu perajin Jepara membuat sekitar 100-200 jenis produk, namun kini berkembang menjadi 2.000 jenis dan diekspor ke-60 negara.

Dalam perjalanan panjangnya, bahan baku kayu nyaris selalu menjadi “masalah” bagi perajin kayu ukir Jepara. Sejak tahun 1970-an kayu telah menjadi komoditas yang diperebutkan. Untuk membantu perajin ukir yang umumnya bermodal pas-pasan, dibentuklah koperasi di Kabupaten Jepara. Lewat koperasi, sejak Maret 1979 harga kayu bisa lebih rendah daripada harga pedoman lelang (HPL).

Pekerja mengangkut kursi setengah jadi sebelum diolah kembali di Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Jumat (24/2). Pada perkembangannya industri mebel dan kerajinan ukir mengalami pasang surut dari persoalan bahan baku hingga pemasaran. Saat ini pebisnis mebel di Jepara harus memiliki Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) untuk dapat menembus pasar internasional.

Namun entah mengapa, tahun 1980 harga di bawah tangan (HDT) bagi perajin ukir yang biasanya lebih rendah dari HPL, menjadi lebih tinggi. HPL per meter kubik Rp 72.000, sedangkan HDT malah Rp 80.000 (Kompas, 10 November 1980). Alhasil sekitar 1.200 perajin ukir kayu berebut mendapat kayu lewat HPL.

Meskipun selama ini perajin sebenarnya juga mendapatkan sebagian bahan baku kayu lewat HPL. Ini karena setiap bulan Perum Perhutani hanya memberi koperasi 700 meter kubik kayu jati, sementara kebutuhan mecapai 4.000 meter kubik.

Tahun 1988 kebutuhan bahan baku kayu meningkat menjadi 100.000 per tahun (Kompas, 18 Januari 1988). Selain kayu jati, untuk memenuhi kebutuhan tersebut digunakan pula kayu dari pohon mahoni dan sonokeling.

Tahun 1991 kebutuhan bahan baku meningkat tajam sejalan dengan hadirnya pengusaha asing di Jepara. Meskipun PT Perhutani menyalurkan 600 meter kubik kayu per bulan, ini hanya mampu memenuhi sekitar 70 persen dari kebutuhan perajin Jepara (Kompas, 31 Maret 1993).

Tahun 1994 kebutuhan bahan baku semakin besar, dan tak bisa hanya dipenuhi dari kayu jati. Maka digunakan pula kayu nangka, mahoni dan kayu sungke dari Kalimantan. Bahan baku yang terserap mencapai  179.742 meter kubik per tahun (Kompas, 27 Juni 1994).

Minat konsumen yang tinggi pada mebel ukir Jepara, membuat pengusaha dan perajin pun mengambil bahan baku dari pohon buah-buahan yang dipelihara warga setempat, seperti di Kecamatan Mayong, Nalumsari, Batealit, Pecangaan, Bangsri, Mlonggo dan Ngabul (Kompas, 12 Oktober 1995).

Maka digunakanlah kayu dari pohon durian, mangga, nangka, rambutan, sawo, mindi, sengon dan tanaman petai. Warga pun lebih senang melepas pohon buahnya daripada harus menunggu sampai pohon itu menghasilkan buah. Urusan lingkungan, keberlanjutan tanaman buah-buahan dan keteduhan desa menjadi tak penting lagi.

Pohon durian berusia 10 tahun dengan diameter 25-30 sentimeter dihargai Rp 300.000. Sedangkan pohon sawo dan nangka sekitar Rp 150.000, dan pohon mangga Rp 100.000. Tanpa malu-malu seperti dikutip Kompas, 12 Oktober 1995, sebagian pengusaha dan eksportir di Jepara mengatakan,” Kami memang bagai rayap yang selalu haus aneka macam kayu”.

Satu hal pasti, produk ukir Jepara terus menyumbang peningkatan pendapatan asli daerah sendiri (PADS). Tahun 1990/1991 sebesar Rp 2 miliar, pada 1995/1996 menjadi Rp 4,3 miliar, lalu Rp 5 miliar (Kompas, 24 Oktober 1997). Industri mebel ukir Jepara menyumbang sekitar 52 persen pendapatan asli daerah (Kompas, 17 Maret 2005).

Kemisan (20), pengukir UD Mblakang Gunung, Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, merampungkan ukiran pesanan pembeli dari China, Senin (22/8). Selama dua tahun terakhir, pemasaran patung-patung ukiran dewa-dewi, naga, dan kilin ke China menggeliat.

Saat krisis moneter melanda tahun 1998 sebagian pelaku industri mebel ukir Jepara justru menangguk untung dari selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar yang mencapai Rp 15.000 per dollar. Muncul ribuan orang kaya baru di Jepara. Mereka tak hanya membangun rumah dan menunaikan ibadah haji, tetapi jalan-jalan desa pun diperbaiki warga secara swadaya (Kompas, 17 April 2001).

Tahun 2005 kenaikan harga bahan baku sekitar 27-35 persen dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memengaruhi industri ukir kayu Jepara. Kompas, 17 Maret 2005 menulis, dengan harga mahal pun, Perum Perhutani I Jateng hanya mampu menyediakan bahan baku kurang dari 200.000 meter kubik per tahun. Sementara kebutuhan mencapai 600.000-700.000 meter kubik per tahun.

Namun pengusaha dan perajin ukir Jepara tak menyerah. Citra produk ukir Jepara sebagai hasil kerajinan tangan dan budaya dijadikan nilai tambah. Para perajin pun bekerjasama sesuai dengan kekhasan produk masing-masing wilayah di Jepara. Misalnya, wilayah Serenan sebagai pusat perajin relief, Mulyoharjo untuk produk mainan dan patung ukir, dan Bawu dengan produk mebel (Kompas, 4 Desember 2009).

Tahun 2011 masih bertahan 3.995 unit usaha ukir kayu yang menyerap 62.524 pekerja. Meski tak sebesar seperti pada masa jayanya di tahun 1990 -awal 2000-an, tetapi ekspor produk ukir kayu Jepara masih menyumbang devisa bagi negara.

Mengutip data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jepara, Kompas 19 September 2011 mencatat, tahun 2010 ekspor mebel ke-99 negara senilai Rp 1,013 triliun, kerajinan kayu ke-14 negara senilai Rp 5,896 miliar, dan kayu olahan ke-18 negara senilai Rp 13,070 miliar.

Selain itu, untuk mendapatkan pasar baru, perajin ukir tak hanya membuat produk bermotif daun, bunga dan karakter patung-patung Eropa, tetapi juga wajah patung China. Ini memang tak mudah, karena tak semua perajin bisa mengerjakannya. Namun potensi pasarnya terbuka, terutama menjelang Imlek (Kompas, 21 Januari 2012).

Optimisme juga muncul lewat para pelajar program kriya kayu di SMK Negeri 2 Jepara. Di sini, selain belajar mengukir kayu, siswa juga belajar desain. Hasil praktek mereka seperti papan nama, kaligrafi, asbak, nampan, sampai mebel pun dipasarkan (Kompas, 7 Mei 2012).

Demi melestarikan seni ukir Jepara, tahun 2014 Pemerintah Kabupaten Jepara mengeluarkan peraturan tentang pemberian ornamen ukiran pada gedung dan bangunan lain milik pemerintah daerah (Kompas, 15 April 2014).

Tentang pengusaha asing di Jepara, meski tak sebanyak era 1990-an, tetapi mereka masih bercokol. Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jepara Raya Maskur Zaenuri menyebutkan, ada tiga pola bisnis pengusaha asing di Jepara (Kompas, 27 Maret 2017).

Pertama, perusahaan dibangun dengan modal asing sepenuhnya dan berorientasi ekspor. Kedua, mereka menggandeng pengusaha setempat dan memberi modal sekitar 70 persen. Ketiga, Mereka menikah siri atau kawin kontrak dengan pria atau perempuan Jepara.

Masa berganti masa, tetapi citra Jepara sebagai tempat perajin ukir kayu tetap melekat. Ada berbagai kisah tentang asal mula Jepara sebagai sentra perajin ukir kayu. Ada yang menyatakan seni ukir ini dikembangkan antara lain oleh Sunan Kalijaga. Cerita lain menyebutkan seni ukir berasal dari pedagang China yang menetap di Jepara (Kompas, 29 September 1996).

Kisah lain lagi menyebutkan bahwa seni ukir Jepara dirintis sejak abad ke-7 atau masa Kerajaan Kalingga dibawah Ratu Shima. Pada masa Kerajaan Majapahit, Jepara menjadi salah satu wilayah pemukiman seniman ukir Hindu. Lalu pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadirin, ada seniman ukir asal Tiongkok bernama Cwie Wie Gwan atau Sungging Badar Duwung. Dialah yang mengajarkan ukiran motif bunga dan daun kepada warga setempat (Kompas, 19 September 2011).

Tampak keadaan luar kompleks Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK) Jepara, Jawa Tengah, April 1992.

Kepopuleran Jepara sebagai tempat perajin ukir kayu tak lepas dari keberadaan R.A. Kartini. Sekitar pertengahan abad ke-19 perajin ukir kayu masih terpusat di Kabupaten Jepara. Pada saat inilah R.A. Kartini, puteri Bupati Jepara Sosroningrat berusaha meningkatkan taraf hidup perajin. Caranya antara lain dengan memberi keragaman variasi motif ukiran. Kalau sebelumnya perajin umumnya mengukir bentuk daun atau kembang, Kartini memberi motif wayang.

Awalnya para perajin tak mau mengukir motif yang diminta Kartini. Alhasil Kartini berusaha membujuk sang ayah untuk memerintahkan para pengukir membuat motif sesuai keinginannya. Dia juga “memasarkan” produk ukir lewat surat-surat kepada sahabatnya di Belanda (Kompas, 15 April  1979).

Step 1: **Identify the modal activity for the girls** The modal activity for the girls is the one that occurs most frequently. Step 2: **Identify the modal activity for the boys** The modal activity for the boys is the one that occurs most frequently. Step 3: **Confirm the modal activities** According to the provided information: - Girls: High ropes course - Boys: White water rafting

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

SEMARANG, iNews.id – Pusat kerajinan ukir kayu yang terkenal di daerah Jawa Tengah ada di Kabupaten Jepara. Ya, Jepara terkenal sebagai pusat bisnis kayu, mebel dan ukirannya.

Jika membicarakan Jepara, tentu ingatan masyarakat akan langsung tertuju pada sosok RA Kartini. Mengingat, Jepara merupakan tanah kelahiran sosok pahlawan emansipasi wanita di Indonesia.

Windy Wimpy Siap Bagikan Ide Usaha dengan Membuat Kerajinan Clay di Morning Update, iNews

Jepara, pusat kerajinan ukir kayu yang terkenal di daerah Jawa Tengah ini memiliki sejarah panjang karena kemampuan bertukang dan mengukir yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kebiasaan ini pun seakan terasah dan berkembang mengikuti perkembangan zaman yang semakin maju.

Seperti apa sejarah pusat kerajinan ukir kayu yang terkenal di daerah Jawa Tengah ini :

Heboh Biawak Masuk Rumah Makan di Jepara, Petugas Damkar Sempat Kesulitan Mengevakuasi

Bicara soal kerajinan ukir kayu, ukiran di Jepara sudah tak diragukan lagi kualitasnya. Terbukti, hasil kerajinan ukiran Jepara mampu diekspor ke lebih 100 negara hingga membuat kabupaten ini dijuluki The World Craving Centre atau Pusat Ukiran Dunia.

Di  Jepara, kegiatan mengukir dan memahat untuk menghasilkan mebel dan karya seni ukiran sudah menjadi bagian dari sosial, budaya, seni, dan ekonomi. Bahkan, politik yang sudah lama terbentuk dan sulit untuk dipisahkan dari akar sejarahnya.

Mengenal Desa Wisata Kasongan Pusatnya Kerajinan Gerabah di Yogyakarta

Sebagai pelukis, dia harus melukis melalui imajinasinya karena dia tentu tidak boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana. Prabangkara melakukan tugasnya dengan sempurna sampai kotoran seekor cicak jatuh mengenai lukisan itu, membuat lukisan permaisuri seakan mempunyai tahi lalat.

Raja sangat puas dengan hasil karya Prabangkara namun begitu melihat ‘tahi lalat’ tersebut, maka marahlah sang raja dan menuduh Prabangkara melihat permaisuri tanpa busana, karena lokasi tahi lalatnya persis dengan kenyataannya!